Kaimudin Laitupa  (Advokat dan Konsultan Hukum

Perspektif Publik Terhadap Hilangnya Tiga Puluh Dokumen di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Maluku

5

Kita tahu bersama bahwa dalam beberapa minggu belakangan ini, publik Maluku dikejutkan oleh hilangnya tiga puluh dokumen di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku.

Pertanyaannya, siapa dalang dari hilangnya tiga puluh dokumen tersebut?

Pertanyaan diatas sudah barang tentu kaitannya dengan dugaan kasus 164 miliar dari anggaran dana alokasi khusus (DAK) di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku dari tahun 2019 sampai 2024.

Publik Maluku tahu bahwa dugaan kasus 164 miliar ini awalnya disuarakan oleh Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku, ketika melakukan pengawasan di sejumlah kabupaten kota di Maluku.

Sesui temuan Komisi IV, sebagian besar pekerjaan fisik dan pengadaan yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) tahun anggaran 2023 tidak sesuai perencanaan.

Pembangunan maupun rehab ruang kelas baru dan pengadaan peralatan laboratorium yang tersebar di kabupaten dan kota di Maluku, banyak terindikasi korupsi.

Dari temuan itulah, Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku secara tegas meminta Kejaksaan dan Kepolisian untuk memeriksa dan mengusut tuntas seluruh proyek pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku.

Dugaan kasus 164 miliar telah ditangani oleh Ditreskrimsus Polda Maluku, dan saat ini statusnya masih dalam proses penyelidikan.

Awalnya Ditreskrimsus intens memanggil para pihak untuk memberikan keterangan terkait dugaan kasus tersebut. Para pihak itu diantaranya mantan Kepalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku Insun Sangadji, Kepalah Bidang SMK Annisa, serta Mantan Kepalah Bidang SMA Iyan Pelu, serta saksi lainnya.

Namun memasuki awal tahun 2025 sampai saat ini, kelihatannya Ditreskrimsus Polda Maluku semangatnya sudah mulai redup atas pengusutan dugaan kasus 164 miliar ini. Padahal semangat awalnya itu luar biasa. Artinya bahwa sebelum pergantian Hujra Soumena sebagai Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku dari jabatannya, dugaan kasus 164 miliar ini lagi giat-giatnya dalam proses penyelidikan. Namun ketika Hujra Soumena diganti dari jabatannya, maka reduplah proses penyelidikannya.

Dugaan penulis dari awal, ketika Hujra Soumena diganti dari jabatannya sebagai Ditreskrimsus Polda Maluku, tentu jejak dugaan kasus 164 miliar ini lambat laun akan hilang. Artinya, mata rantai telah diputus.

Memang kita tidak bisa pungkiri, dalam berbagai kasus apapun, baik kasus tindak pidana korupsi maupun kasus lainnya, ketika mata rantai diputus, maka sistempun juga ikut putus. Alhasil, sistem tidak bisa berjalan semaksimal mungkin, apalagi kalau dugaan kasus tersebut ada hubungannya dengan kekuasaan sebelumnya.

Soal dugaan kasus 164 miliar pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang hari ini mangkrak di Ditreskrimsus Polda Maluku, tentu publik menanti kinerja Kombespol Puter Yonathama selaku Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Maluku, agar mengusut dengan tuntas kasus ini. Artinya bahwa jalan dan tidaknya suatu kasus, tergantung komitmen dan integritas.

Integritas merupakan nilai fundamental yang mencerminkan kejujuran, etika, dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas serta wewenang. Dalam tata kelola suatu institusi, baik institusi Kepolisian maupun dalam pemerintahan, integritas menjadi landasan utama dalam menciptakan sistem yang transparan dan bebas dari praktik penyimpangan. 

Oleh sebab itu, integritas bukan hanya menjadi standar perilaku individu, tetapi juga menjadi tolak ukur keberhasilan suatu institusi dalam membangun kepercayaan masyarakat. 

Ironisnya, kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa masih banyak kasus korupsi yang mencerminkan rendahnya integritas di berbagai sektor. 

Berdasarkan laporan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2024 masih berada di angka 37 dari skala 0-100, yang menunjukkan tingkat korupsi masih tinggi, meskipun angka tersebut mengalami peningkatan tiga poin dibandingkan tahun sebelumnya. 

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 telah terdapat lebih dari 1000 kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pejabat pemerintah, anggota legislatif, hingga sektor swasta.

Lebih mengkhawatirkan lagi, rendahnya integritas di kalangan aparat penegak hukum menjadi tantangan serius yang merusak kredibilitas lembaga peradilan. 

Dalam kurun waktu 2004 hingga 2023, tercatat sebanyak 49 aparat penegak hukum, termasuk hakim, jaksa, dan polisi, terjerat kasus korupsi. Meskipun beberapa institusi telah menerapkan kebijakan Zona Integritas sebagai langkah pencegahan, kenyataannya angka kasus korupsi di kalangan penegak hukum masih tergolong tinggi.

Fakta-fakta tersebut mengindikasikan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar yang tak mudah. 
Lemahnya integritas – terutama di lingkungan birokrasi dan penegak hukum – menunjukkan bahwa perbaikan sistem belum berjalan secara optimal. 

Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan. 
Salah satu penyebab utama maraknya korupsi adalah masih adanya celah dalam sistem birokrasi yang memungkinkan pejabat menyalahgunakan wewenang demi kepentingan pribadi atau kelompok.

Hilangnya tiga puluh dokumen pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku, yakin sungguh ada kaitannya dengan dugaan kasus 164 miliar yang saat ini ditangani oleh Ditreskrimsus Polda Maluku.

Soal siapa terlibat dan tidaknya dalam hilangnya tiga puluh dokumen tersebut, kita serahkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH). Artinya, publik hari ini boleh berspekulasi atas kehilangan tiga puluh dokumen tersebut, namun ada prosedur hukum untuk diselesaikan. Duduk perkara antara dugaan kasus 164 Miliar yang saat ini tangani di Ditreskrimsus Polda Maluku dan hilangnya tiga puluh dokumen Dana alokasi khusus dan Dana Bos tahun 2019-2024.

Artinya dugaan kasus 164 miliar itu adalah tindak pidana korupsinya, tentu kita serahkan kepada Ditreskrimsus Polda Maluku untuk menangani. Proses penangananya harus tuntas, dalam hal ini harus ada penetapan tersangka dari kasus tersebut. Biar ada efek jera dari kasus ini.

Sementara hilangnya tiga puluh dokumen pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku bisa termasuk dalam tindak pidana, tergantung pada bagaimana hilangnya dokumen tersebut terjadi dan apakah ada unsur pidana yang terpenuhi. 

Jika dokumen tersebut sengaja dihilangkan atau dirusak, ini bisa dikategorikan sebagai tindak pidana, seperti perusakan atau penggelapan. Namun, jika hilangnya dokumen tersebut karena kelalaian atau kecelakaan, mungkin tidak memenuhi unsur tindak pidana. 

Tapi jika kita telusuri lebih jauh terkait hilangnya tiga puluh dokumen tersebut, tentu ada kaitannya dengan dugaan kasus 164 miliar yang saat ini ditangani di Ditreskrimsus Polda Maluku. Artinya sengaja dihilangkan untuk menghalangi proses hukum atau merugikan pihak lain, maka bisa dianggap sebagai tindak pidana.

Kesimpulannya, dalam kasus pidana unsur sengaja sangat penting. Jika seseorang dengan sengaja menghilangkan dokumen untuk tujuan tertentu, seperti menghalangi proses hukum atau menguntungkan diri sendiri, maka hal itu bisa menjadi dasar untuk penuntutan pidana.

Terkait hilangnya tiga puluh dokumen tersebut, selain tanggung jawab Kepolisian juga tanggung jawab Kepala Daerah, dalam hal ini Gubernur Hendrik Lewerissa.

Apalagi Gubernur Hendrik Lewerissa tegaskan melalui juru bicaranya, yakni, Kasrul Selang bahwa tidak ada tebang pilih Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam hilangnya tiga puluh dokumen di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku. Inilah bentuk komitmen seorang kepalah daerah yang betul-betul peduli atas kasus ini. 

Selain komitmennya, juga melalui juru bicara Gubernur menegaskan bahwa kita serahkan masalah ini kepada pihak kepolisian untuk menangani. Publik Maluku berharap agar akhir dari kasus dugaan 164 miliar yang saat ini ditangani oleh Ditreskrimsus Polda Maluku dan hilangnya tiga puluh dokumen di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku agar di usut tuntas.

Soal kearsipan daerah. Beberapa Minggu yang lalu, pernyataan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bahwa pemerintah daerah harus mendukung secara terbuka terkait Peraturan Daerah tentang kearsipan berbasis elektronik, supaya ada digitalisasi arsip. Sebab dari peristiwa ini, tentu mencoreng wajah pemerintah daerah. Padahal dunia sudah berbasis elektronik. Kita Maluku masih berada pada fase manual. Ini menjadi pekerjaan rumah buat Gubernur Hendrik Lewerissa dan kita semua yang cinta akan Negeri Siwalima ini. Artinya bahwa peristiwa hilangnya tiga puluh dokumen tersebut, selain bentuk kejahatan untuk menghilangkan dokumen negara yang berhubungan dengan arsip institusi pemerintah. Ini juga suatu jalan Tuhan untuk Pemerintah Daerah berbenah diri dari berbagai kekurangan yang ada saat ini.(*)

oleh: Kaimudin Laitupa  (Advokat dan Konsultan Hukum)

'); });