RUU Masyarakat Adat, Harapan atau Ilusi?

67

AMBON, BERITAKOTAAMBON.ID - Di jantung Maluku, asa kembali dipertaruhkan. Konsolidasi dan diskusi publik tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat, yang digelar di Ambon pada Selasa (2/12), menjadi panggung bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
 
Delapan dekade lalu, UUD 1945 menjanjikan pengakuan bagi masyarakat adat. Namun janji itu terasa hampa bagi Hunanatu Matoke dari Suku Nuaulu, Maluku Tengah. "Dalam praktiknya, keberadaan masyarakat semakin terpinggirkan dan termarjinalkan," keluhnya.
 
Di Maluku, masyarakat adat menggantungkan hidup pada laut dan pulau-pulau kecil. Namun industri ekstraktif dan perubahan iklim, mengancam eksistensi mereka. Kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun terancam punah.
 
Dalam kesempatan itu , Decky Tanasale, Sekretaris Majelis Latupati Provinsi Maluku, mengingatkan tentang "budaya hidup orang basudara, pela-gandong" yang menjadi identitas Maluku. Namun, identitas itu seolah tak mampu melindungi mereka dari ketidakadilan.
 
Perda yang ada belum mampu menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat adat. Proses registrasi wilayah adat di BRWA berjalan lambat dan berbelit. Stigma negatif terus menghantui, seolah masyarakat adat adalah kelompok terbelakang yang tak beradab.
 
Sementara itu , Apriliska Titahena dari Komunitas Peduli Masyarakat Adat Lumah Ajare menyoroti ketidaksetaraan gender dalam sistem adat. "Sangat sedikit desa adat yang memberikan posisi bagi perempuan dalam struktur kelembagaan adat," ujarnya.
 
Namun, di tengah kesulitan, masyarakat adat tetap menjadi penjaga alam. Elisa Laiuluy dari Barisan Pemuda Adat di Seram Bagian Barat mencontohkan sistem sasi sebagai bukti kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam.
 
Selain itu pada kesempatan yang sama , Helmy Natro dari Gerakan Membangun Bumi Kalwedo menyoroti kasus-kasus perampasan wilayah adat, seperti penolakan tambang di Pulau Romang. "Penolakan masyarakat adat membuat mereka dipukul oleh polisi dan puluhan orang ditangkap," ungkapnya.
 
Menutup kegiatan tersebut , Joan Pesulima dari AJI Ambon menyerukan perubahan perspektif media massa dalam memberitakan masyarakat adat. "Isu masyarakat adat harus menjadi isu bersama bagi jurnalis," tegasnya.
 
Ia menegaskan , Konsolidasi dan diskusi publik RUU Masyarakat Adat menjadi momentum krusial untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Pengesahan RUU ini diharapkan menjadi angin segar bagi komunitas adat di Maluku dan seluruh Indonesia.
 
Namun lanjutnya , pertanyaan besar tetap menghantui. " akankah RUU ini benar-benar menjadi solusi, atau hanya sekadar ilusi yang akan mengecewakan? Jeritan dari timur ini menuntut jawaban yang nyata," tandasnya. (GEM)